.... carpe diem ....

setapak jejak menuju karya

24 Desember 2008

Melongok Anak Krakatau

Oleh Anita Yossihara
(Dimuat di Harian Kompas, 2 Desember 2008)

Awan putih menggantung di langit Selat Sunda yang terlihat biru bersih, Sabtu akhir pekan lalu. Samar-samar terlihat gunung berwarna kelabu yang berdiri kokoh di tengah laut, diapit tiga bukit hijau. Para wisatawan berhamburan keluar dari dalam Kapal Motor Penumpang Jatra III, dan memenuhi geladak kapal. “Waw,” decak kagum para wisatawan saat melihat gugusan gunung di tengah laut yang semakin dekat. Dari pengeras suara kapal terdengar pemandu menunjukan gunung berwarna abu-abu itu adalah Gunung Anak Krakatau.

Wisatawan pun berlomba untuk mengabadikan kemegahan gunung berapi yang berdiri kokoh di tengah laut. Sebagian berpose di tepi kapal dengan Gunung Anak Krakatau sebagai latar belakang. Semua seakan tak ingin tertinggal untuk menikmati pesona gugusan pulau di sisi barat Provinsi Banten itu.

Krakatoa, begitu orang barat menyebut gugusan gunung yang membelah Selat Sunda. Ketenaran namanya membuat banyak orang penasaran, bahkan meraba-raba wujud Krakatau sebenarnya.

Para sineas barat pun mencoba menggambarkan sosok Krakatau. Setidaknya ada tiga judul film yang dibuat untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi pada gunung berapi itu. Bahkan seorang penulis kelahiran Skotlandia, Simon Winchester, mencoba merangkum dengan apik cerita dan fakta seputar Krakatau. Cerita yang dilengkapi fakta-fakta ilmiah disuguhkan dalam sebuah buku berjudul, Krakatoa, The Day the World Exploded: August 27, 1883 yang diterjemahkan dalam buku berbahasa Indonesia dengan judul, “Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883”.

Nama Krakatau menjadi terkenal setelah meletus pada 27 Agustus 1883 lampau. Letusan mahadahsyat, yang menimbulkan bencana paling besar kala itu. Para ahli mencatat, suara letusan Krakatau terdengar hingga radius 4.600 kilometer dari pusat ledakan di Selar sunda. Krakatau meletus diikuti dengan tsunami yang menyapu lebih dari 295 kampung di pesisir pantai barat Banten, dari Merak, Anyer, Labuan, Panimbang, Ujung Kulon, hingga Cimalaya di Karawang, Jawa Barat. Kawasan di selatan Sumatera pun tak luput dari gelombang tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau. Lebih dari 36.000 jiwa menjadi korban dalam bencana besar itu.

Tsunami juga meluluhlantakkan pelabuhan kecil di Anyer, tempat Gubernur Jendral Herman Willem Daendels menambatkan perahunya pada Januari 1808. Mercusuar di tepi pantai Anyer pun tak luput dari amukan Krakatau. Mercusuar itu patah dan terlempar hingga ke daerah perbukitan di atas Anyer.

Sebelum meletus, Krakatau merupakan sebuah pulau besar yang terbentuk dari tiga gunung berapi, yakni Rakata, Perbuatan, dan Danan. Setelah meletus, Gunung Perbuatan dan Danan serta sebagian Rakata lenyap.

Letusan menyisakan tiga pulau yang diberi nama Pulau Sertung, Pulau Rakata atau Krakatau Besar, dan Pulau Panjang atau Krakatau Besar. Rakata yang terletak paling selatan merupakan pulau dengan bukit tertinggi, yakni mencapai 813 meter di atas permukaan laut. Adapun tinggi Pulau Panjang di utara Rakata hanya 132 meter, dan Pulau Sertung di barat laut Rakata memiliki ketinggian 182 meter di atas permukaan laut.

Sekitar 44 tahun kemudian, yakni pada Desember 1927 muncul semburan baru di tengah-tengah ketiga pulau pecahan Krakatau Purba. Gunung berapi baru itupun kemudian diberi nama Gunung Anak Krakatau, yang kini memiliki ketinggian lebih kurang 315 meter di atas permukaan laut.

Eksotis Setelah 125 tahun Krakatau Purba meletus, terdapat empat pulau yang tersisa untuk dinikmati di Kepulauan Krakatau itu. Pulau Rakata di sisi selatan, Sertung di sisi barat laut, Pulau Panjang di Timur Laut dengan Anak Krakatau berada di tengah-tengahnya. Gugusan pulau yang menjulang di tengah laut itu terlihat eksotis. Perjalanan panjang menerjang ombak akan terobati setelah melihat pesona Krakatau.

Awan putih seakan tak pernah lepas menggantung di atas Gunung Anak Krakatau. Burung-burung camar yang beterbangan di atas gunung menambah keindahan yang dipancarkan dari tengah Selat Sunda. Burung-burung itupun menandakan Anak Krakatau sudah aman untuk didekati. Laut yang seakan memeluk gunung, terlihat biru bersih. Hingga berbagai jenis ikan yang berenang di bawah laut pun nampak jelas dari atas kapal.

Ada banyak cara untuk menikmati eksotisme Krakatau. Salah satunya dengan cara berkeliling, melihat keindahannya dari atas kapal. Tanpa harus turun ke kaki gunung, wisatawan suudah bisa mengabadikan pesona Anak Krakatau dari atas kapal. Tapi jika ingin menikmati pemandangan yang lebih indah, cobalah untuk turun di Pulau Rakata atau bahkan di kaki Gunung Anak Krakatau. Tentu saja harus tetap mengindahkan peringatan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, atau Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau. Wisatawan bisa berkemah di Pulau Rakata, yang biasa digunakan untuk transit nelayan. Selain menikmati deburan ombak Selat Sunda, di Rakata wisatawan juga bisa berpesta ikan bakar bersama nelayan. Tapi jangan lupa membawa perbekalan, karena tidak ada penjual makanan di sana.

Bila cuaca baik, wisatawan juga bisa menyelam di perairan Krakatau. Berbagai macam biota laut akan terlihat lebih indah, karena perairan Krakatau cukup terjaga dari kerusakan. Pemandangan di tengah Selat Sunda akan bertambah mempesona saat matahari tenggelam. Bola matahari yang dikelilingi semburat jingga, akan terlihat lebih dekat dari Pulau Rakata. Singgah di kaki Gunung Anak Krakatau juga bisa dijadikan pilihan saat melancong ke Selat Sunda. Pantai berpasir hitam di kaki Anak Krakatau cukup nyaman untuk beristirahat. Meski Anak Krakatau terlihat tandus, namun pantai di kaki gunung cukup sejuk. Pantai dikelilingi hutan berisi pohon pinus, kelapa, dan beberapa jenis tumbuhan lainnya. Hutan itu juga dihuni berbagai jenis binatang, seperti kupu-kupu, burung, biawak, ular, dan hewan melata lainnya. Keberadaan hewan-hewan itu menunjukan kondisi Anak Krakatau sudah aman, setelah aktivitasnya meningkat pada awal tahun lalu.

Jika mendapat izin mendekat, cobalah untuk mendaki Gunung Anak Krakatau. Dari kaki bukit akan terlihat bukit pasir bak sabuk yang mengelilingi puncak Gunung Anak Krakatau. Selepas mata memandang, hanya terlihat hamparan pasir hitam yang menyerupai pecahan batu bara. Keelokan lain akan terlihat setelah sekitar 200 meter mendaki Anak Krakatau. Laut di bawah gunung terlihat menyerupai danau biru yang dikelilingi gugusan pulau. Bukit di bawah puncak gunung terlihat seperti lengkungan yang dekat dengan langit.

Pemandangan yang membuat hati terus mengagumi kebesaran Yang Kuasa, karena keindahan Krakatau yang nyaris tanpa cela. Udara panas dan biaya mahal pun terbayar setelah melihat keelokan Kepulauan Krakatau.

Tidak perlu bersusah payah untuk melancong menikmati keindahan Krakatau. Kini, beberapa hotel di kawasan Anyer-Carita, seperti Patra Jasa, Mambruk, Nuansa Bali, dan Marina, menawarkan paket wisata Krakatau. Cukup dengan membayar ongkos Rp 300.000 per orang, wisatawan sudah bisa diantar melancong ke Selat Sunda. “Tapi itu hanya biaya transportasi dari Anyer ke Krakatau saja,” ujar Agus Santoso dari Hotel Patra Jasa Anyer sekaligus Sekretaris PHRI Banten.

Perjalanan menuju Krakatau juga bisa dilakukan dengan menyewa kapal nelayan atau kapal motor penumpang lainnya. Biaya sewa kapal beserta awaknya berkisar antara 2,5 juta hingga 6 juta per hari, tergantung kapasitas kapal. Butuh waktu antara 2-2,5 jam untuk perjalanan menuju Krakatau, dari Anyer ataupun Carita. Akan lebih baik bila lawatan ke Krakatau dilakukan pada musim kemarau, dari bulan Mei hingga September.

03 Desember 2008

MENYUSURI KEINDAHAN PANTAI BARAT BANTEN

Oleh : Anita Yossihara
(Dimuat di Harian Kompas, 2 Februari 2008)
Bagi para penyuka tantangan dan perjalanan, Pantai Barat Banten bisa menjadi pilihan untuk berlibur melepas penat dan segala persoalan yang biasa dihadapi sehari-hari. Pantai yang membentang sepanjang Anyer, Carita, Labuan, Panimbang, Tanjung Lesung, hingga Sumur di perbatasan Ujung Kulon di Provinsi Banten memiliki keindahan yang menarik untuk dinikmati. Perjalanan bisa diawali dari Cilegon atau Serang. Jika ingin melihat pemandangan di kompleks industri kimia, keluar melalui pintu Tol Cilegon Timur atau Cilegon Barat, lalu menyusuri jalan negara, Jalan Raya Cilegon-Pasauran. Tetapi, jika ingin menghirup udara sejuk perbukitan dan menikmati panorama pedesaan, bisa dicoba melalui jalan alternatif yang menghubungkan Kota Serang dengan Kecamatan Anyar. Keluar pintu Tol Serang Timur atau Serang Barat, menuju jalan lingkar selatan, dan masuk jalan alternatif dari simpang Taktakan. Pemandangan pantai mulai terlihat setelah memasuki daerah Kecamatan Anyar. Sejumlah pantai untuk umum berjajar dari Desa Anyar hingga ujung Kecamatan Carita di Pandeglang. Hanya dengan membayar tiket Rp 3.000 hingga Rp 10.000, setiap pengunjung sudah bisa menikmati berlibur tanpa batas waktu. Mereka juga bisa berenang sepuasnya. Sejauh mata memandang, terlihat bebatuan karang hitam menyembul di antara pasir dan hamparan biru laut. Deretan perahu-perahu nelayan tradisional terlihat di sejumlah muara sungai. Singgahlah sejenak di muara Pasauran untuk melihat dari dekat kehidupan nelayan. Biasanya, menjelang tengah hari, anak-anak nelayan akan berenang membantu memikul bakul penuh ikan, hasil melaut orangtua mereka. Jika ingin menikmati keunikan batu karang, datanglah ke Pantai Karang Bolong di Desa Karang Bolong, Cinangka. Pantai ini menyuguhkan pemandangan batu karang besar yang berlubang pada bagian tengahnya. Hamparan biru laut dengan riak ombak putih menjadi lebih memesona saat dipandang dari balik Karang Bolong. Batu karang setengah lingkaran terlihat seperti bingkai lukisan laut yang membiru. Tidak hanya itu, setiap pengunjung diperbolehkan menaiki bukit karang. Dari puncak bukit karang akan terlihat seonggok batu karang besar yang menyerupai kapal terdampar. Memasuki kawasan Pantai Carita, pesona lain tersuguh di depan mata. Di kawasan pesisir Pantai Carita dipenuhi pasir berwarna putih. Berbagai permainan pantai, lengkap dengan jasa penyewaan alat permainan, juga ada di Carita. Satu buah jetski, yang bisa ditumpangi dua orang, disewakan dengan harga Rp 150.000 per 15 menit. Begitu pula satu banana boat berkapasitas lima orang, disewakan dengan harga Rp 150.000 per 15 menit. Lelah bermain, pengunjung bisa beristirahat di tepian pantai sambil menikmati kelapa muda utuh yang dijual dengan harga Rp 3.000-Rp 5.000 per buah. Berbagai makanan laut, seperti ikan bakar, cumi bakar, dan kepiting laut, bisa dinikmati dengan harga kurang dari Rp 30.000 per orang. Apabila ingin berlama-lama menikmati Anyer-Carita, tersedia banyak penginapan dengan pilihan harga dan fasilitas. Khusus untuk penginapan, saat ini, pengunjung bisa menawar harga sewa kamar. Wisata Ujung Kulon Namun, bila masih penasaran dengan pesona pantai barat, harus melanjutkan perjalanan hingga Ujung Kulon. Ada dua pilihan tujuan, yakni kawasan wisata Tanjung Lesung atau Pulau Umang di Ujung Kulon. Di lokasi itu, tempat matahari terbenam terasa semakin dekat. Untuk menuju Tanjung Lesung dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari kawasan Carita. Perjalanan menyusuri jalan negara dari Carita, Labuan, Panimbang, Citeureup, lalu tiba di Tanjung Lesung. Hamparan lautan biru menjadi pemandangan di sepanjang jalan menuju Tanjung Lesung. Aktivitas warga di perkampungan nelayan juga kembali terlihat di muara Panimbang, terutama jika dilihat dari jembatan Panimbang. Laut serasa semakin dekat memasuki daerah Citeureup, masih di Kecamatan Panimbang. Abrasi membuat ombak terasa mengempas jalan raya yang dilintasi. Di kejauhan terlihat bagan-bagan bambu nelayan berjajar di belakang di tepi laut. Pusat Desa Citeureup itulah pintu masuk menuju Desa Tanjung Jaya, lokasi kawasan wisata Tanjung Lesung. Beberapa menit dari pertigaan akan terpampang papan kayu bertuliskan "Kawasan Desa Wisata Cipanon". Cipanon merupakan sebuah kampung di Tanjung Jaya, yang sudah menjadi kawasan wisata. Sekitar 1 kilometer dari perkampungan penduduk terlihat sejumlah bangunan megah. Itulah kompleks peristirahatan di tepi pantai yang dikelola swasta. Jika ingin berlibur di Tanjung Lesung, ada dua pilihan untuk menginap. Di rumah-rumah penduduk yang dibuat semacam home stay dengan tarif Rp 100.000 per malam, atau menginap di vila, hotel, maupun resor dengan tarif Rp 500.000-Rp 1,5 juta per malam. Bukan hanya pemandangan laut yang bisa dinikmati selama berlibur. Pengunjung bisa meminta diantarkan untuk melihat lokasi konservasi terumbu karang di tengah laut. "Ada tiga lokasi transplantasi karang di daerah ini, yaitu Karang Gundul, Tanjung Lesung, dan Pulau Liungan," kata Pongke, seorang penggiat lingkungan yang juga menyediakan penginapan di rumahnya. Untuk berkeliling melihat terumbu karang, warga menyediakan jasa sewa perahu berkapasitas 15 orang seharga Rp 500.000. Selain menikmati keindahan terumbu karang, pengunjung juga bisa belajar cara transplantasi karang. Apabila diminta, perahu bisa mengantar pengunjung untuk memancing, menyelam, atau berenang di tengah laut. Namun peralatan harus disediakan sendiri karena belum ada penyewaan alat selam di sana. Selain itu, perahu warga desa juga siap mengantar berkeliling melihat kepulauan di Ujung Kulon. Satu kali perjalanan menuju Pulau Peucang butuh waktu tiga jam berlayar. Tarif sewa perahu dipatok Rp 3 juta pergi-pulang. Fasilitas yang disediakan hotel, resor, maupun vila di Tanjung Lesung lebih lengkap dibanding di desa wisata. Mereka juga menyediakan paket wisata bersatu dengan alam, seperti berkeliling melihat terumbu karang, memberi makan camar, menyelam, dan berbagai olahraga air lainnya. Seluruh peralatan olahraga disediakan pengelola Tanjung Lesung. Pulau Umang Apabila memilih berlibur ke Pulau Umang, perjalanan dari Citeureup harus dilanjutkan menuju Kecamatan Sumur di perbatasan Ujung Kulon. Diperlukan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Carita, atau 1,5 jam dari Tanjung Lesung. Sesampai di perkampungan nelayan Sumur, pulau kecil berpasir putih akan langsung menyita perhatian. Dari sisi pulau terlihat gazebo-gazebo kecil tertata apik dan indah. Itulah Pulau Umang, sebuah pulau seluas 5 hektar yang disulap menjadi tempat peristirahatan mewah. Butuh waktu 10-15 menit untuk menyeberang dengan menggunakan perahu kecil, dari Sumur menuju Pulau Umang. Banyak pesona yang dapat dinikmati sesampai di Pulau Umang. Pemandangan matahari terbit dan tenggelam bisa dinikmati sekaligus di pulau yang termasuk kawasan wisata Ujung Kulon. Hamparan pasir putih dan laut biru di ujung paling barat Pulau Jawa jangan sampai dilewatkan begitu saja. Pengalaman lain yang nyaman untuk dicoba adalah beristirahat di vila berbentuk rumah panggung dari kayu, dengan harga sewa rata-rata Rp 1,5 juta per malam. Atau makan di restoran terbuka bersama dengan burung-burung kecil, yang kadang mendekat di sekitar kita. Seperti tempat wisata pantai lain, di Pulau Umang, pengunjung juga bisa menyewa jestki dan banana boat dengan harga rata-rata Rp 150.000 per 15 menit. Pengunjung bisa menyelam melihat terumbu karang di dekat Pulau Oar, atau berkeliling melihat daratan Ujung Kulon. Pesisir barat Pulau Jawa memang menawarkan pesona alam yang menakjubkan. Pemandangan laut, gunung, hutan, dan bukit lengkap berada di sana. Jadi tak perlu ragu untuk menyusuri keindahan alamnya. (Anita Yossihara)

24 Mei 2008

Menunggu Dunia Berubah

Jarum jam serasa cepat sekali berputar...pukul 00.00 kurang lima menit, saat-saat menegangkan menunggu dunia berubah. // Bunyi sirine meraung-raung silih berganti, mobil-mobil bersirine lalu lalang di jalanan kota. Seperti hendak perang--- jadi ingat film pemberontakan G 30 S PKI yang selalu ditayangkan televisi di masa Suharto, dulu--- suasananya kurang lebih sama. Mencekam--- atau mungkin hanya hatiku saja yang mencekam---. // Situs-situs berita bercerita cikal kerusuhan ada dimana-mana... Ban dibakar di depan Kampus UKI... Mahasiswa dan polisi saling lempar batu di UNAS-- Benar-benar genting!!! // Pemandangan berbeda nampak, sore tadi. Sepanjang perjalanan dari Cilegon hingga Serang, antrean panjang kendaraan terlihat di sana-sini. Rakyat panik, BBM naik...// Semua berburu, ingin menikmati tetes terakhir BBM dengan harga murah... Karena tengah malam, harga sudah berbeda. Seakan dunia berubah, rasanya... // Angka-angka berseliweran di kepala, menghitung hidup di hari selanjutnya.... Ah, rakyat semakin payah... Aparat semakin sombong... Nelayan ditangkap kalau pakai minyak tanah... Padahal mungkin, selisih harga solar dan minyak tanah jadi jatah anak-istri mereka... Anak yang mungkin juga akan jadi aparat, kelak.... Rakyat jadi bangkrut... Sementara pemimpin di Jakarta sana berteriak menantang, "Hai Rakyat, bersiap-siaplah menunggu pengumuman kenaikan BBM". // Tepat pukul 00.00, dunia benar-benar serasa berubah...

27 Februari 2008

Menyusuri Kemolekan Pantai Selatan Banten

Oleh Anita Yossihara
(dimuat di harian Kompas 8 Juni 2007)
Bagi Anda yang menyukai tantangan ataupun perjalanan, pantai di selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bisa menjadi tujuan untuk berwisata melepas penat setelah sepekan sibuk bekerja. Pesisir pantai selatan sepanjang 70 kilometer itu memiliki pesona keindahan yang menarik untuk dinikmati.
Mendengar daerah Banten, atau tepatnya Lebak Selatan, akan terbayang daerah miskin dan tertinggal yang jauh dari keramaian kota. Untuk menuju daerah selatan Lebak memang memerlukan waktu sekitar 3-4 jam dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Maklum, jarak yang harus ditempuh dari Kota Serang hingga Malingping, pusat wilayah Lebak Selatan, lebih kurang mencapai 120 kilometer lebih.
Apalagi medan jalan yang harus ditempuh juga berkelok-kelok serta berbukit. Melintasi jalan negara dari Serang menuju Kota Pandeglang, kemudian turun di daerah Saketi, Bojong, Picung, Banjarsari, hingga Malingping. Panorama alam dengan pemandangan perkebunan karet serta sawit juga dapat dinikmati saat melintasi jalan itu.
Selain melewati Pandeglang, perjalanan juga bisa dilakukan dengan melintasi Kota Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk melintasi jalan sepanjang 97 kilometer menuju Malingping, menyusuri Kecamatan Cileles, Cikulur, Gunung Kencana, dan Cijaku. Meski jalan berkelok dan berbukit, banyak pesona yang juga bisa dinikmati. Dari kebun kelapa sawit yang tertata rapi, kebun karet, hingga aktivitas warga desa yang jarang ditemukan di perkotaan.
Untuk melepas penat, Malingping bisa dijadikan sebagai tempat transit atau sekadar beristirahat. Jika ingin menginap, terdapat beberapa hotel dengan tarif yang tidak terlalu mahal di pusat Kecamatan Malingping.
Bagedur-Binuangeun
Perjalanan menyusuri pantai selatan Lebak bisa dimulai setelah tiba di Malingping. Berjalan sekitar enam kilometer ke arah selatan, pesona pantai selatan Lebak sudah mulai terlihat. Pantai pertama yang bisa dinikmati adalah Pantai Bagedur. Di sana juga terdapat sebuah hotel yang bisa dijadikan tempat untuk menginap.
Berbeda dengan pantai barat Banten, Pantai Bagedur berpasir putih. Pemandangan di pantai ini akan semakin menarik pada saat matahari tenggelam. Pengunjung bisa menikmati perubahan warna langit selama proses tenggelamnya matahari.
Setelah puas menikmati Bagedur, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Muara Binuangeun di Kecamatan Wanasalam. Suguhan panorama pantai berwarna biru di antara pepohonan nyiur ditemukan saat menyusuri jalan sepanjang 11 kilometer menuju Binuangeun. Pesisir pantai di daerah ini juga nyaman untuk dijadikan tempat memancing.
Perkampungan nelayan beserta aktivitasnya juga bisa dinikmati di Muara Binuangeun. Deretan perahu-perahu "kincang",perahu kecil khas daerah selatan, juga menjadi pemandangan lain. Begitu pula tempat pelelangan ikan yang dipenuhi dengan berbagai jenis ikan segar.
Dari Muara Binuangeun, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Kecamatan Bayah yang berjarak sekitar 37 kilometer dari Malingping. Keindahan panorama laut sekaligus perbukitan bisa dinikmati dalam perjalanan sepanjang Malingping-Cihara-Panggaranga-Bayah.
Di sisi kanan akan terlihat laut lepas berwarna biru bersih dengan karang-karang hitam berukuran besar di tepian pantai. Dari tepi laut juga akan terlihat area persawahan yang menyerupai punden berundak. Sementara di sisi kiri jalan akan terlihat sawah yang membentang hingga daerah perbukitan.
Tidak seperti di daerah pantai pada umumnya, udara segar terasa saat melintasi jalan Malingping-Bayah. Maklum saja, jalan itu memang jarang dilalui kendaraan bermotor sehingga minim polusi. Apalagi, di sisi kanan jalanterdapat pepohonan rindang yang berusia tua.Pesona Sawarna Rasa penat setelah perjalanan panjang hingga ratusan kilometer akan terbayar dengan suguhan kemolekan Pantai Bayah. Samudra berwarna biru terlihat tanpa batas dari atas daerah perbukitan di Bayah.
Perjalanan pun bisa diakhiri di Desa Sawarna, yang berbatasan langsung dengan daerah Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam perjalanan dari pusat Kecamatan Bayah menuju Sawarna akan terlihat pemandangan alam yang menawan, dari sederetan pantai di tepi kanan jalan hingga perkebunan karet dan hutan tropis di daerah Pulomanuk. Kondisi jalan yang berbukit-bukit tidak lagi terasa melelahkan karena suguhan panorama laut yang lebih menyerupai lukisan hasil goresan kanvas para pelukis.
Pemandangan semakin menakjubkan saat melintasi kawasan hutan tropis Pulomanuk.Pengunjung bisa sejenak beristirahat di Pantai Pulomanuk sambil membakar ikan segar yang baru dibawa pulang nelayan. Para pedagang warung di sana biasa meminjamkan peralatan membakar ikan, sekaligus membuatkan sambalnya. Setelah puas menikmati hidangan ikan bakar, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan Pulomanuk yang berbukit. Dari atas bukit terlihat hamparan biru laut dengan batu karang yang tersusun rapi, menyerupai relief yang memesona.
Turun dari perbukitan akan terasa suasana alam pedesaan yang jauh dari modernisasi. Hamparan sawah yang menghijau menambah pesona Sawarna. Deretan petani yang berjalan menyusuri tegalan juga menjadi pemandangan di desa ini. Pemandangan serta suasana semacam ini tak mungkin bisa ditemukan di kota.
Gelombang yang besar cocok untuk digunakan sebagai tempat berselancar. Tidak mengherankan jika banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Sawarna hanya untuk berselancar menantang ombak.
Suasana akan semakin indah menjelang matahari terbenam. Semburat warna jingga bercampur biru terlihat indah di sepanjang senja hari. Rasa letih akan terbayar dengan pesona senja yang disuguhkan pantai Sawarna yang terlihat tanpa batas.
Jika ingin bermalam, pesisir pantai bisa menjadi pilihan untuk mendirikan tenda. Selain embusan angin laut dan deburan ombak di malam hari, pengunjung juga bisa menikmati hamparan langit gelap yang dipenuhi gemerlap bintang. Atau, jika tidak membawa tenda, rumah-rumah penduduk bisa dijadikan tempat untuk bermalam. Suasana pedesaan akan lebih terasa karena bisa melihat dari dekat kegiatan warga Desa Sawarna.
Menyusuri pantai selatan Lebak bisa menjadi pilihan untuk berlibur. Tidak perlu khawatir akan kelelahan karena kemolekan alam yang disuguhkan di sepanjang pantai selatan ini sangat memesona dan menakjubkan.

Anyer Tetap Memesona

Oleh Anita Yossihara
(dimuat harian Kompas edisi 25 Mei 2007)

Semilir angin berembus lembut menerpa pohon nyiur di tepian Pantai Anyer, Rabu (23/5) siang. Suara gemerisik daun nyiur disertai desiran ombak yang mengalir silih berganti, bak simponi yang mengalun merdu, indah, dan memesona.

Sejauh mata memandang, terlihat riak-riak ombak putih bersih di antara hitam batu karang. Hamparan biru air laut memantulkan cahaya sinar matahari yang terik, siang itu. Di kejauhan terlihat pula pemandangan Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau, menjulang di tengah-tengah samudra berwarna biru cerah. Sesekali terlihat satu-dua perahu nelayan melintas di tengah lautan.

Pemandangan itu membuat mata enggan berpaling, dan badan enggan beranjak melewati suasana nyaman di tepian pantai. Banyak pesona yang ditawarkan pantai yang berada di pesisir barat Provinsi Banten tersebut. Bukan hanya pesona pantai, tetapi juga keindahan batu karang yang bisa dinikmati di sana.

Salah satunya Karang Bolong, yang berada di Desa Karang Bolong, Kecamatan Cinangka, Serang. Cukup dengan membayar tiket sekitar Rp 5.000, pengunjung bisa memandang gelombang dari balik batu karang.

Keunikan batu karang besar yang berlubang di bagian tengah juga menjadi pesona yang indah untuk dinikmati. Pemandangan akan lebih indah dengan berjalan menaiki puncak batu karang bolong. Turun dari puncakkarang bolong akan terlihat seonggok batu karang besar yang menyerupai kapal terdampar.

Tantangan lain bisa dirasakan jika turun langsung ke pantai berbatu karang. Tak hanya ombak yang dapat dinikmati, tetapi juga permainan mencari siput laut yang hidup di sela-sela karang hitam.

Pesona pantai berbatu karang juga bisa dinikmati di daerah lain di sepanjang Kecamatan Anyer hingga ujung Kecamatan Cinangka. Di antaranya, Pantai Karang Kitri, Karang Suraga, dan sebagainya.

Pemandangan indah juga bisa dinikmati di Pantai Mercusuar Anyer di daerah Cikoneng, masih di Kecamatan Anyer. Selain batu karang, di sana juga terdapat hamparan pasir putih. Nyaman untuk tempat berjemur, atau sekadar bermain pasir bersama keluarga, teman, ataupun kerabat lainnya.

Setelah lelah bermain, pengunjung bisa beristirahat di tepian pantai sambil menikmati minuman kelapa muda yang segar. Rata-rata satu buah kelapa muda dijual dengan harga Rp 3.000-Rp 3.500. Pondok-pondok makan yang dibuat seperti gubuk bambu juga bisa menjadi pilihan untuk melepas lelah. Berbagai makanan laut seperti ikan bakar, cumi bakar, kepiting, dan sebagainya bisa dipesan dan dinikmati sembari memandang deburan ombak di Selat Sunda itu.

Jika ingin berlama-lama menikmati pesona Pantai Anyer, di sana juga tersedia banyak penginapan dengan pilihan harga dan fasilitas. Dari penginapan biasa dengan harga puluhan ribu rupiah semalam hingga hotel berbintang dengan harga jutaan per malam bisa digunakan sebagai pilihan tempat melepas penat di hari libur.

Nol Kilometer

Anyer tak hanya menyajikan kemolekan pemandangan pantai, tetapi juga pesona sejarah. Nama Anyer sudah terkenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pasti banyak orang yang tahu jika awal tahun 1800-an Jenderal Willem Daendels membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan sepanjang pantai utara Pulau Jawa itu dikenal dengan nama Jalan Raya Pos atau Groote Post Weg.

Tak banyak orang yang tahu di mana pangkal jalan raya yang dibangun dengan cucuran keringat dan darah jutaan warga pribumi itu. Jika ingin tahu letak pangkal Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, datanglah ke sebuah pantai yang diberi nama Pantai Mercusuar Anyer di Desa Cikoneng.

Sekitar tiga meter dari bibir pantai didapati sebuah tapal yang terbuat dari beton bercat warna biru. Di atas tapal itu tertulis, "0 KM Anyer-Panarukan 1806 AKL". Jika dilihat dari tulisannya, tapal itu merupakan tanda pangkal Jalan Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels. Sekitar 10 meter arah timur tapal batas terlihat sebuah mercusuar bercat warna putih yang menjulang setinggi 52 meter.

Mercusuar ini dibangun pada tahun 1885, pada zaman kekuasaan Raja Willem III. Pada malam hari, lampu mercusuar tua ini masih digunakan untuk menyinari perairan Selat Sunda. Memberi tanda bagi kapal-kapal yang melintas agar tetap berlayar pada jarak 12 mil dari garis pantai, dan kapal tidak menabrak karang.

Saat ini benda cagar budaya itu dibuka untuk umum. Siapa pun bisa memasuki ruangan dan naik hingga ke puncak mercusuar. Pemandangan pantai bukan satu-satunya pesona yang ditawarkan kawasan wisata di sebelah barat Provinsi Banten. Pesona pegunungan di sisi timur Pantai Anyer juga bisa dijadikan sebagai tempat wisata alternatif.

Salah satunya, Rawa Dano yang bisa dinikmati dari atas pegunungan Mancak. Kawasan Cagar Alam Rawa Dano ini berupa hutan rawa, yang terlihat seperti bekas kepundan gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Suhu udara di pegunungan Rawa Dano lebih sejuk daripada suhu udara di pesisir pantai.

Tempat wisata ini berada di jalan yang menghubungkan Kota Serang dengan kawasan Anyer, dengan melintasi daerah Taktakan serta Mancak. Banyak pesona yang ditawarkan daerah di pesisir barat Provinsi Banten itu. Bukan hanya wisata pantai, tetapi juga peninggalan sejarah serta pesona alam pegunungan bisa dinikmati.

18 Februari 2008

Menikmati Sisa-sisa Eksotisme Pesisir Utara Banten

Oleh Anita Yossihara
(termuat di harian Kompas edisi 20 April 2007)
Sinar matahari di Pelabuhan Merak begitu terik hari Kamis (19/4) siang kemarin. Debu-debu beterbangan saat kendaraan-kendaraan besar melintasi pintu masuk Jalan Raya Merak Bojonegara. Tak ada yang terasa, kecuali panas, gerah, dan kumuh.
Sepanjang jalan yang terlihat hanyalah hamparan laut yang dipenuhi kapal-kapal tongkang. Tabung-tabung besar berisi zat kimia juga menjadi pemandangan di sebelah barat jalan. Sementara di sebelah timur terlihat bukit-bukit tandus yang sebagian telah gundul, tanpa tanaman.
Cuaca mulai terasa sedikit sejuk saat memasuki Desa Pulorida, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Merak. Pohon-pohon besar tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan, membuat teduh badan jalan yang sebenarnya sangat berdebu.
Dari kejauhan mulai terlihat hamparan pasir putih dan batu karang hitam. Beberapa rumah panggung yang terbuat dari kayu berdiri kokoh di pelataran berpasir putih. Di atas pintu pagar terlihat papan kecil bertuliskan "Pantai Pulorida".
Jika tidak ada papan petunjuk, mungkin tidak ada yang tahu jika daerah itu merupakan tempat wisata. Apalagi kemarin pintu masuk Pantai Pulorida terkunci rapat. "Kalau hari-hari biasa seperti ini, pantai memang tidak dibuka. Hanya hari Sabtu, Minggu, dan hari libur, pintu masuk itu dibuka," tutur Nasriani, seorang warga yang bermukim di seberang Pantai Wisata Pulorida.
Padahal, dari tepi Pantai Pulorida, pengunjung bisa menikmati pemandangan dan aktivitas di Selat Sunda. Selain perahu nelayan, pengunjung juga dapat menikmati kapal-kapal besar berikut kapal tongkang yang kebetulan berlabuh di dekat pantai.
Selain wisata pantai, Pulorida justru lebih terkenal sebagai tempat hiburan malam. Sebuah hotel yang dilengkapi dengan restoran, diskotek, dan sarana hiburan lainnya kerap menjadi tempat wisata orang yang kebetulan singgah di Pelabuhan Merak.
Tidak sedikit pula warga sekitar Pulorida, mulai dari Merak, Cilegon, hingga Serang, yang menghabiskan malam di hotel tersebut. Maklum saja, biaya masuk tempat hiburan di Pulorida relatif murah dan terjangkau. Untuk bisa masuk ke diskotek, seorang pengunjung cukup membayar Rp 20.000.
Pantai Kelapa Tujuh
Pulorida bukan satu-satunya tempat wisata yang bisa disinggahi di sepanjang jalan alternatif Merak-Bojonegara. Sekitar dua kilometer dari Pulorida terdapat sebuah pantai bernama Kelapa Tujuh. Namun, warga di sana lebih sering menyebut pantai Kelapa Pitu atau pantai kompleks. Menurut cerita turun-temurun, nama Kelapa Pitu diambil dari asal muasal pantai wisata itu. "Dulu, sekitar tahun 1970-an, Haji Sarmani si pemilik tanah hanya menanam tujuh pohon kelapa. Jadi, saat itu pohon kelapanya tidak sebanyak sekarang, hanya tujuh buah saja," tutur Sapri, warga Desa Suralaya, Kecamatan Pulomerak.
Adapun sebutan Pantai Kompleks terbentuk setelah PT Indonesia Power Suralaya membangun kompleks perumahan di sekitar pantai tersebut. Tidak seperti pantai-pantai pada umumnya, Pantai Kelapa Tujuh lebih teduh dan sejuk. Tepian pantai berpasir putih itu dipenuhi pepohonan rindang berusia tua.
Pengunjung bisa leluasa duduk di bawah pohon rindang, sambil menikmati pemandangan Selat Sunda. Dari pantai itu pula bisa terlihat jajaran cerobong asap milik PLTU Suralaya. Seperti Pantai Pulorida, Kelapa Tujuh selalu ramai dikunjungi warga pada akhir pekan dan hari libur lainnya.
"Di sini pantainya adem, enggak sumpek. Pedagangnya juga teratur, tempat jualannya rapi. Biasanya kalau di pantai selalu banyak pedagang asongan yang menawari barang. Jadi, kita susah buat santainya," kata Ita Rosita, seorang warga Gerem, Cilegon, yang mengaku sering datang ke Pantai Kelapa Tujuh.
Pantai Salira
Berjalan sepanjang tiga kilometer dari Pantai Kelapa Tujuh, kita sudah bisa menemukan lagi pantai wisata lain. Pantai wisata yang terletak di Desa Salira, Kecamatan Puloampel, Kabupaten Serang, itu dikenal dengan nama Salira Indah. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 4.000 untuk orang dewasa, dan Rp 3.000 untuk anak-anak, pemandangan pantai utara Banten sudah bisa dinikmati.
Hampir sama dengan Kelapa Tujuh, cuaca di Pantai Salira juga terasa sejuk. Sinar matahari tidak bisa langsung menyengat kulit karena tepian pantai dipenuhi pohon nyiur dan pepohonan rindang lainnya. Selain untuk berwisata, pantai yang juga berpasir putih ini lebih sering digunakan sebagai tempat kemping. Biasanya, para pengunjung bermalam di saung (gubuk) terbuka yang berada di tepi pantai. "Kebanyakan anak muda memilih kemping di sini. Cukup menyewa tenda yang sudah disediakan. Kalau musim libur sekolah, biasanya penuh terus," tutur Euis, salah seorang warga yang turut mengelola tempat wisata itu.
Dari tempat ini, pengunjung juga bisa membawa pulang oleh-oleh berbagai jenis bonsai. Salah satu yang menarik adalah bonsai pohon kelapa gading yang dijual seharga Rp 10.000 hingga jutaan rupiah. Bonsai pohon lain, seperti beringin dan kamboja jepang, juga dapat dibeli dari harga yang termurah Rp 10.000 hingga yang termahal, bisa di atas Rp 6 juta.
Dahulu, keindahan pantai-pantai di pesisir utara Banten ini memang cukup tersohor. Namun, kini keindahan itu tersisih dengan banyaknya industri yang dibangun di sepanjang pesisir pantai Merak-Bojonegara.
Meski pemandangan pantai tidak lagi seindah dulu, sisa-sisa eksotisme pantai utara masih tetap dapat dinikmati. Setidaknya, lokasi wisata ini bisa dijadikan tujuan alternatif bagi warga Jakarta dan sekitarnya jika jalur lalu lintas Bogor- Pucak padat. Tidak ada salahnya kawasan ini juga dikunjungi.

Pedagang Gorengan Memilih Bunuh Diri

Oleh Anita Yossihara
(termuat di Kompas edisi 16 Januari 2008, halaman 1)
Beberapa ibu rumah tangga sibuk menata kue di rumah Nuriah (40) di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (15/1) siang. Ibu-ibu itu menyiapkan makanan untuk acara doa bersama berkait meninggalnya Slamet (45), suami Nuriah. Sehari sebelumnya, suami Nuriah nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya. Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun. Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng. Empat hari sebelum meninggal, Slamet pernah mengeluh kepada beberapa wartawan yang datang untuk menanyakan dampak kelangkaan minyak tanah dan kenaikan harga. Ia mengatakan terpaksa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per liter. Setiap pagi sebelum berjualan, ia mengambil 2-3 liter minyak tanah di warung milik Enjen. Slamet baru membayar minyak tanah pada malam hari, sepulang berjualan. Namun, menurut Enjen, beberapa waktu terakhir Slamet memang mulai kesulitan membayar minyak tanah. Kondisi itu membuat Slamet merasa berat untuk melanjutkan usaha berdagang gorengan. Keluhan serupa juga pernah disampaikan Slamet kepada Ustadz Nurdin, tokoh masyarakat setempat. Nurdin menceritakan, sebelum Slamet bunuh diri, ia pernah mengeluh selalu merugi. "Modal yang dikeluarkan Rp 50.000 sehari, tetapi pendapatannya cuma Rp 35.000," katanya. Bisa jadi beban pedagang gorengan itu bertambah berat karena semua harga bahan baku gorengan melonjak. Saat ini harga minyak goreng di Pasar Badak mencapai Rp 11.500 per kilogram, harga tepung terigu menjadi Rp 7.000 per kilogram, dan harga tepung tapioka Rp 3.800 per kilogram. Harga bahan baku gorengan lain, seperti tahu dan tempe, juga naik, bahkan sulit didapat kan akibat harga kacang kedelai melonjak di pasaran. Di Pasar Badak, tempat Slamet biasa berbelanja bahan baku, tahu berukuran sedang yang sebelumnya dijual Rp 500 sekarang menjadi Rp 750 per potong. Begitu pula harga tempe berbagai ukuran, naik rata-rata Rp 500 dari harga sebelumnya. Dugaan bahwa Slamet bunuh diri karena tekanan ekonomi diperkuat hasil visum di Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang. "Tidak ditemukan adanya bekas kekerasan fisik sehingga kasus itu murni merupakan bunuh diri. Besar kemungkinan penyebabnya adalah tekanan ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Pandeglang Ajun Komisaris Besar Mamat Surahmat. Slamet bukan satu-satunya warga masyarakat yang menjadikan gorengan sebagai tumpuan hidup sehari-hari. Ada ribuan warga yang berharap bisa melanjutkan hidup dengan berdagang gorengan. Namun, jika harga bahan baku terus melonjak, apakah tidak mungkin ada warga lain yang menjadi senekat Slamet: memilih bunuh diri karena putus asa melihat harga bahan pangan yang semakin tak terjangkau. Warteg juga terancam Di Jakarta, kemarin, sejumlah warung nasi, terutama warung tegal (warteg), diwarnai kekesalan pelanggan yang kehilangan lauk kesayangan mereka, orek (irisan kecil tempe goreng berbumbu yang dipotong memanjang, bercampur sedikit irisan cabai merah). Di lingkungan penggila warteg, orek memang hampir identik dengan warteg. Di samping murah meriah, cuma Rp 1.000-Rp 1.500, sebagai pendamping nasi, orek memang enak. "Saya sudah 35 tahun jualan nasi, tapi baru sekarang saya tak bisa menyajikan orek karena tempe menghilang dari pasar tiga hari ini," kata Mu'min, pemilik Warung Nasi Ojo Lali, yang berlokasi di Jalan Melati, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Ketika kerusuhan Mei 1998, menurut dia, tempe dijatah, masing-masing cuma dapat lima bantal tempe. "Zaman perang, zaman Bung Karno, zaman geger G30S, zaman Pak Harto, enggak pernah tempe sampai hilang seperti sekarang," katanya. Kebetulan warungnya mengandalkan tiga menu, orek, soto betawi, dan bakwan udang. Setiap hari warungnya yang buka pada pukul 10.00-20.00 menghabiskan antara lain tempe 15 bantal, tahu besar 15 potong, tahu kuning 30 potong, beras setengah kuintal, dan minyak tanah 30 liter. Karena menu orek absen, jumlah pelanggannya tiga hari belakangan berkurang, dari sekitar 250 orang setiap harinya menjadi 100 orang. "Menu lain boleh mewah, tapi enggak laku kalau enggak ada orek. Ambil orek dulu, baru menu tambahan lainnya," ucap Mu'min. "Padahal sebenarnya, meski dengan harga tinggi, kalau tempenya ada, pasti saya beli karena pelanggan saya tidak keberatan harga orek naik," katanya menambahkan. Mu'min berniat menutup warungnya kalau produk tempe dan tahu menghilang lebih dari seminggu, atau jika harga minyak tanah mencapai Rp 7.000 per liter. "Semua pemilik warteg pasti punya niat yang sama dengan saya," tuturnya.(WIN)

15 Februari 2008

Pak Ji, Semangat Dalam Kesendirian

(termuat di Kompas Jawa Timur Edisi 9 September 2004 halaman A)
PUKUL 16.00 di kompleks perkantoran Pemerintah Kota Surabaya. Pak Ji menata botol-botol kosong dan memasukkannya ke kotak yang sering disebut krat. Ia lalu menjinjing kotak pendingin ke lorong sempit selebar setengah meter. Kotak pendingin tersebut berisi teh botol dan berbagai jenis minuman botol lain. Tidak lupa botol-botol kosong yang telah tertata pun dia masukkan ke lorong sempit di antara kantor Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan kantor Dinas Bina Marga dan Utilitas Kota Surabaya. Setelah mengunci pintu kecil dan kemudian memakai jaket lusuhnya, ia bersiap pulang ke rumah kontrakannya di Jalan Ngaglik Gang Kuburan.
"Sudah tutup, mau pulang," tuturnya saat duduk bersama Pak Salamun, petugas kebersihan di depan Kantor Dinas Infokom, Jumat (3/9). *** SUPARJI nama lengkapnya. Namun, pedagang minuman botol itu lebih dikenal dengan nama Pak Ji. Usianya telah mencapai 82 tahun. Tubuhnya kecil dan tidak pernah lepas dari kacamata plus berbingkai fiberglass berwarna cokelat.
Ia pernah menikah dengan Dinem, tetangganya di Nganjuk pada tahun 1951. Karena tidak memiliki keturunan, Pak Ji memutuskan meninggalkan sang istri sekitar tahun 1980.
"Sudah tua, jadi ya saya tinggalkan. Lebih enak sendirian di sini (SurabayaùRed)," ujar pria yang sempat bergabung dengan BY 35 (Batalyon 35 pimpinan Bambang Yuwono) pada tahun 1948.
Di usianya yang renta, tanpa sanak dan saudara, dia tetap bersemangat menjual minuman dan kadang nasi bungkus. "Buat makan dan sedikit disimpan untuk beli obat," katanya saat berbincang-bincang bersama Mulyadi, petugas parkir dari dinas perhubungan.
Setiap pagi, sekitar pukul 05.00, Pak Ji meninggalkan rumah kontrakannya. Dia berjalan kaki menuju kompleks perkatoran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. "Kalau masih pagi sekali dan masih ngantuk ya tidur dulu pakai dingklik ini," tuturnya sambil menunjuk bangku panjang berukuran 30 sentimeter (cm) x 150 cm.
Lalu, sepanjang hari Pak Ji melayani para pembeli. Bukan hanya pegawai pemkot, ia juga melayani para investor atau rekanan lelang proyek Pemkot Surabaya dan wartawan yang singgah di kantor Dinas Infokom Kota Surabaya. "Sekarang, paling-paling habis 1,5 sampai 2 krat. Sehari dapat uang sekitar Rp 10.000," tuturnya.
Menjual minuman dan nasi bungkus telah ia jalani sejak tahun 1981. "Kantor ini (Dinas InfokomùRed) sudah ganti empat kali. Awalnya kantor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), lalu dinas pertamanan, ganti lagi jadi PU (pekerjaan umum), dan sekarang jadi Infokom," paparnya.
Sebelumnya Pak Ji mendapatkan satu ruang khusus di kantor PBB. Saat itu, selain berbagai minuman botol, ia juga menyediakan penganan kecil dan nasi bungkus. "Dulu itu habisnya sampai lima krat sehari. Nasi bungkusnya sampai 80-100 bungkus. Kalau sekarang ndak payu, paling-paling sehari habis 10-20 bungkus saja," tuturnya.
Merasa dagangannya tidak laku lagi, Pak Ji memindahkan tempat dagangannya ke tempat parkir. Seperti pedagang kaki lima lain, ia mengaku pernah dua kali "ditertibkan" petugas Polisi Pamong Praja. "Karena itu, akhirnya saya diberi tempat di lorong kecil itu. Mungkin kasihan sama saya karena sudah lama ikut berjualan di sini," katanya.
Pak Ji pun menggunakan lorong kecil tersebut untuk menyimpan kotak pendingin berikut minuman botol dan botol-botol kosong. Ia tetap memilih salah satu sudut tempat parkir untuk berjualan. *** SELAMA 23 tahun Pak Ji menghabiskan hari-harinya bersama botol-botol minuman di kompleks perkantoran Pemkot Surabaya. Malam hari ia baru beristirahat di rumah seluas 2,5 meter (m) x 5 m yang disewanya dengan harga Rp 600.000 per tahun.
"Hari Sabtu dan Minggu libur. Biasanya ya di rumah saja," katanya.
Ia memang pernah memiliki tiga rumah, dan saat ini telah ia jual. "Dulu punya rumah dua di Donokerto, satu di Ngaglik. Tetapi sudah dijual semuanya karena butuh uang. Kalau sekarang kontrak rumah," ujarnya.
Tidak ada sanak dan saudara menemani, hanya tetangga yang menemaninya dan kadang-kadang menjenguk terutama saat ia sakit. "Kalau sakit, baru tetangga-tetangga itu datang. Keponakan saya baru datang kalau ditelepon," tuturnya dengan mata menerawang.
Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Seperti biasa, Pak Ji diam dengan tatapan mata kosong, sembari menunggu pembeli datang.
Dengan penghasilan rata-rata Rp 10.000 per hari, Pak Ji mencoba memenuhi seluruh kebutuhannya. Dari makan, uang sewa rumah, dan kebutuhan lain, termasuk berobat ke dokter. "Sekarang ini kan paru-paru saya sakit. Setiap bulan harus ke dokter, habisnya sampai Rp 150.000," ujarnya.
Pak Ji akan periksa ke dokter kalau uangnya telah terkumpul. Kalau tidak, ia terpaksa menahan sakit di paru-parunya. "Tetapi, kadang-kadang ada yang kasih uang untuk berobat. Itu ibu-ibu rekanan pemkot yang datang ke sini," katanya.
Meskipun sakit-sakitan, ia tidak mau jika harus kembali ke kampung halamannya di Nganjuk. Dia juga tidak mau kembali kepada Dinem, istrinya yang telah lama ditinggalkan. "Pak Ji senang di Surabaya, biar tidak ada saudara," tuturnya. Alasannya, ia biasa sendiri mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat ini ia hanya mempunyai semangat untuk bertahan hidup dan bertahan dari serangan sakit paru-parunya.Entah kapan Pak Ji akan memutuskan untuk berhenti. Berhenti berkutat dengan botol-botol minuman dan nasi bungkus. Hal yang jelas, saat ini setiap hari Pak Ji masih saja mengumpulkan keping-keping rupiah, sekadar untuk makan dan mengobati sakit paru-parunya. (ANITA YOSSIHARA)

tentang hidup

"bahwa hidup adalah untuk memberi..."
perjalanan panjang kehidupan memberi berjuta pengalaman;
suka, duka, kecewa, frustasi, karena sebuah pengharapan yang terlalu.
satu-satu prestasi terengkuh...
satu-satu muka cemberut, mencibir...
satu-satu bertepuk tangan, menjabat tangan...
kecewa kemudian, menghadirkan duka dan frustasi...
karena asa yang terlalu.
hingga datang suatu masa yang menyadarkan akan arti kehidupan...
"bahwa hidup adalah untuk memberi",
memberi tanpa berharap balasan...
memberi dan hanya memberi...
itulah cara meningkahi hidup yang tak selalu bersahabat dengan pengharapan... tetaplah menari, berlari, berputar, dan bernyanyi...
di atas kanvas kehidupan...

13 Februari 2008