.... carpe diem ....

setapak jejak menuju karya

15 Februari 2008

Pak Ji, Semangat Dalam Kesendirian

(termuat di Kompas Jawa Timur Edisi 9 September 2004 halaman A)
PUKUL 16.00 di kompleks perkantoran Pemerintah Kota Surabaya. Pak Ji menata botol-botol kosong dan memasukkannya ke kotak yang sering disebut krat. Ia lalu menjinjing kotak pendingin ke lorong sempit selebar setengah meter. Kotak pendingin tersebut berisi teh botol dan berbagai jenis minuman botol lain. Tidak lupa botol-botol kosong yang telah tertata pun dia masukkan ke lorong sempit di antara kantor Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan kantor Dinas Bina Marga dan Utilitas Kota Surabaya. Setelah mengunci pintu kecil dan kemudian memakai jaket lusuhnya, ia bersiap pulang ke rumah kontrakannya di Jalan Ngaglik Gang Kuburan.
"Sudah tutup, mau pulang," tuturnya saat duduk bersama Pak Salamun, petugas kebersihan di depan Kantor Dinas Infokom, Jumat (3/9). *** SUPARJI nama lengkapnya. Namun, pedagang minuman botol itu lebih dikenal dengan nama Pak Ji. Usianya telah mencapai 82 tahun. Tubuhnya kecil dan tidak pernah lepas dari kacamata plus berbingkai fiberglass berwarna cokelat.
Ia pernah menikah dengan Dinem, tetangganya di Nganjuk pada tahun 1951. Karena tidak memiliki keturunan, Pak Ji memutuskan meninggalkan sang istri sekitar tahun 1980.
"Sudah tua, jadi ya saya tinggalkan. Lebih enak sendirian di sini (SurabayaùRed)," ujar pria yang sempat bergabung dengan BY 35 (Batalyon 35 pimpinan Bambang Yuwono) pada tahun 1948.
Di usianya yang renta, tanpa sanak dan saudara, dia tetap bersemangat menjual minuman dan kadang nasi bungkus. "Buat makan dan sedikit disimpan untuk beli obat," katanya saat berbincang-bincang bersama Mulyadi, petugas parkir dari dinas perhubungan.
Setiap pagi, sekitar pukul 05.00, Pak Ji meninggalkan rumah kontrakannya. Dia berjalan kaki menuju kompleks perkatoran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. "Kalau masih pagi sekali dan masih ngantuk ya tidur dulu pakai dingklik ini," tuturnya sambil menunjuk bangku panjang berukuran 30 sentimeter (cm) x 150 cm.
Lalu, sepanjang hari Pak Ji melayani para pembeli. Bukan hanya pegawai pemkot, ia juga melayani para investor atau rekanan lelang proyek Pemkot Surabaya dan wartawan yang singgah di kantor Dinas Infokom Kota Surabaya. "Sekarang, paling-paling habis 1,5 sampai 2 krat. Sehari dapat uang sekitar Rp 10.000," tuturnya.
Menjual minuman dan nasi bungkus telah ia jalani sejak tahun 1981. "Kantor ini (Dinas InfokomùRed) sudah ganti empat kali. Awalnya kantor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), lalu dinas pertamanan, ganti lagi jadi PU (pekerjaan umum), dan sekarang jadi Infokom," paparnya.
Sebelumnya Pak Ji mendapatkan satu ruang khusus di kantor PBB. Saat itu, selain berbagai minuman botol, ia juga menyediakan penganan kecil dan nasi bungkus. "Dulu itu habisnya sampai lima krat sehari. Nasi bungkusnya sampai 80-100 bungkus. Kalau sekarang ndak payu, paling-paling sehari habis 10-20 bungkus saja," tuturnya.
Merasa dagangannya tidak laku lagi, Pak Ji memindahkan tempat dagangannya ke tempat parkir. Seperti pedagang kaki lima lain, ia mengaku pernah dua kali "ditertibkan" petugas Polisi Pamong Praja. "Karena itu, akhirnya saya diberi tempat di lorong kecil itu. Mungkin kasihan sama saya karena sudah lama ikut berjualan di sini," katanya.
Pak Ji pun menggunakan lorong kecil tersebut untuk menyimpan kotak pendingin berikut minuman botol dan botol-botol kosong. Ia tetap memilih salah satu sudut tempat parkir untuk berjualan. *** SELAMA 23 tahun Pak Ji menghabiskan hari-harinya bersama botol-botol minuman di kompleks perkantoran Pemkot Surabaya. Malam hari ia baru beristirahat di rumah seluas 2,5 meter (m) x 5 m yang disewanya dengan harga Rp 600.000 per tahun.
"Hari Sabtu dan Minggu libur. Biasanya ya di rumah saja," katanya.
Ia memang pernah memiliki tiga rumah, dan saat ini telah ia jual. "Dulu punya rumah dua di Donokerto, satu di Ngaglik. Tetapi sudah dijual semuanya karena butuh uang. Kalau sekarang kontrak rumah," ujarnya.
Tidak ada sanak dan saudara menemani, hanya tetangga yang menemaninya dan kadang-kadang menjenguk terutama saat ia sakit. "Kalau sakit, baru tetangga-tetangga itu datang. Keponakan saya baru datang kalau ditelepon," tuturnya dengan mata menerawang.
Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Seperti biasa, Pak Ji diam dengan tatapan mata kosong, sembari menunggu pembeli datang.
Dengan penghasilan rata-rata Rp 10.000 per hari, Pak Ji mencoba memenuhi seluruh kebutuhannya. Dari makan, uang sewa rumah, dan kebutuhan lain, termasuk berobat ke dokter. "Sekarang ini kan paru-paru saya sakit. Setiap bulan harus ke dokter, habisnya sampai Rp 150.000," ujarnya.
Pak Ji akan periksa ke dokter kalau uangnya telah terkumpul. Kalau tidak, ia terpaksa menahan sakit di paru-parunya. "Tetapi, kadang-kadang ada yang kasih uang untuk berobat. Itu ibu-ibu rekanan pemkot yang datang ke sini," katanya.
Meskipun sakit-sakitan, ia tidak mau jika harus kembali ke kampung halamannya di Nganjuk. Dia juga tidak mau kembali kepada Dinem, istrinya yang telah lama ditinggalkan. "Pak Ji senang di Surabaya, biar tidak ada saudara," tuturnya. Alasannya, ia biasa sendiri mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat ini ia hanya mempunyai semangat untuk bertahan hidup dan bertahan dari serangan sakit paru-parunya.Entah kapan Pak Ji akan memutuskan untuk berhenti. Berhenti berkutat dengan botol-botol minuman dan nasi bungkus. Hal yang jelas, saat ini setiap hari Pak Ji masih saja mengumpulkan keping-keping rupiah, sekadar untuk makan dan mengobati sakit paru-parunya. (ANITA YOSSIHARA)

Tidak ada komentar: