.... carpe diem ....

setapak jejak menuju karya

27 Februari 2008

Menyusuri Kemolekan Pantai Selatan Banten

Oleh Anita Yossihara
(dimuat di harian Kompas 8 Juni 2007)
Bagi Anda yang menyukai tantangan ataupun perjalanan, pantai di selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bisa menjadi tujuan untuk berwisata melepas penat setelah sepekan sibuk bekerja. Pesisir pantai selatan sepanjang 70 kilometer itu memiliki pesona keindahan yang menarik untuk dinikmati.
Mendengar daerah Banten, atau tepatnya Lebak Selatan, akan terbayang daerah miskin dan tertinggal yang jauh dari keramaian kota. Untuk menuju daerah selatan Lebak memang memerlukan waktu sekitar 3-4 jam dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Maklum, jarak yang harus ditempuh dari Kota Serang hingga Malingping, pusat wilayah Lebak Selatan, lebih kurang mencapai 120 kilometer lebih.
Apalagi medan jalan yang harus ditempuh juga berkelok-kelok serta berbukit. Melintasi jalan negara dari Serang menuju Kota Pandeglang, kemudian turun di daerah Saketi, Bojong, Picung, Banjarsari, hingga Malingping. Panorama alam dengan pemandangan perkebunan karet serta sawit juga dapat dinikmati saat melintasi jalan itu.
Selain melewati Pandeglang, perjalanan juga bisa dilakukan dengan melintasi Kota Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk melintasi jalan sepanjang 97 kilometer menuju Malingping, menyusuri Kecamatan Cileles, Cikulur, Gunung Kencana, dan Cijaku. Meski jalan berkelok dan berbukit, banyak pesona yang juga bisa dinikmati. Dari kebun kelapa sawit yang tertata rapi, kebun karet, hingga aktivitas warga desa yang jarang ditemukan di perkotaan.
Untuk melepas penat, Malingping bisa dijadikan sebagai tempat transit atau sekadar beristirahat. Jika ingin menginap, terdapat beberapa hotel dengan tarif yang tidak terlalu mahal di pusat Kecamatan Malingping.
Bagedur-Binuangeun
Perjalanan menyusuri pantai selatan Lebak bisa dimulai setelah tiba di Malingping. Berjalan sekitar enam kilometer ke arah selatan, pesona pantai selatan Lebak sudah mulai terlihat. Pantai pertama yang bisa dinikmati adalah Pantai Bagedur. Di sana juga terdapat sebuah hotel yang bisa dijadikan tempat untuk menginap.
Berbeda dengan pantai barat Banten, Pantai Bagedur berpasir putih. Pemandangan di pantai ini akan semakin menarik pada saat matahari tenggelam. Pengunjung bisa menikmati perubahan warna langit selama proses tenggelamnya matahari.
Setelah puas menikmati Bagedur, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Muara Binuangeun di Kecamatan Wanasalam. Suguhan panorama pantai berwarna biru di antara pepohonan nyiur ditemukan saat menyusuri jalan sepanjang 11 kilometer menuju Binuangeun. Pesisir pantai di daerah ini juga nyaman untuk dijadikan tempat memancing.
Perkampungan nelayan beserta aktivitasnya juga bisa dinikmati di Muara Binuangeun. Deretan perahu-perahu "kincang",perahu kecil khas daerah selatan, juga menjadi pemandangan lain. Begitu pula tempat pelelangan ikan yang dipenuhi dengan berbagai jenis ikan segar.
Dari Muara Binuangeun, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Kecamatan Bayah yang berjarak sekitar 37 kilometer dari Malingping. Keindahan panorama laut sekaligus perbukitan bisa dinikmati dalam perjalanan sepanjang Malingping-Cihara-Panggaranga-Bayah.
Di sisi kanan akan terlihat laut lepas berwarna biru bersih dengan karang-karang hitam berukuran besar di tepian pantai. Dari tepi laut juga akan terlihat area persawahan yang menyerupai punden berundak. Sementara di sisi kiri jalan akan terlihat sawah yang membentang hingga daerah perbukitan.
Tidak seperti di daerah pantai pada umumnya, udara segar terasa saat melintasi jalan Malingping-Bayah. Maklum saja, jalan itu memang jarang dilalui kendaraan bermotor sehingga minim polusi. Apalagi, di sisi kanan jalanterdapat pepohonan rindang yang berusia tua.Pesona Sawarna Rasa penat setelah perjalanan panjang hingga ratusan kilometer akan terbayar dengan suguhan kemolekan Pantai Bayah. Samudra berwarna biru terlihat tanpa batas dari atas daerah perbukitan di Bayah.
Perjalanan pun bisa diakhiri di Desa Sawarna, yang berbatasan langsung dengan daerah Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dalam perjalanan dari pusat Kecamatan Bayah menuju Sawarna akan terlihat pemandangan alam yang menawan, dari sederetan pantai di tepi kanan jalan hingga perkebunan karet dan hutan tropis di daerah Pulomanuk. Kondisi jalan yang berbukit-bukit tidak lagi terasa melelahkan karena suguhan panorama laut yang lebih menyerupai lukisan hasil goresan kanvas para pelukis.
Pemandangan semakin menakjubkan saat melintasi kawasan hutan tropis Pulomanuk.Pengunjung bisa sejenak beristirahat di Pantai Pulomanuk sambil membakar ikan segar yang baru dibawa pulang nelayan. Para pedagang warung di sana biasa meminjamkan peralatan membakar ikan, sekaligus membuatkan sambalnya. Setelah puas menikmati hidangan ikan bakar, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan Pulomanuk yang berbukit. Dari atas bukit terlihat hamparan biru laut dengan batu karang yang tersusun rapi, menyerupai relief yang memesona.
Turun dari perbukitan akan terasa suasana alam pedesaan yang jauh dari modernisasi. Hamparan sawah yang menghijau menambah pesona Sawarna. Deretan petani yang berjalan menyusuri tegalan juga menjadi pemandangan di desa ini. Pemandangan serta suasana semacam ini tak mungkin bisa ditemukan di kota.
Gelombang yang besar cocok untuk digunakan sebagai tempat berselancar. Tidak mengherankan jika banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Sawarna hanya untuk berselancar menantang ombak.
Suasana akan semakin indah menjelang matahari terbenam. Semburat warna jingga bercampur biru terlihat indah di sepanjang senja hari. Rasa letih akan terbayar dengan pesona senja yang disuguhkan pantai Sawarna yang terlihat tanpa batas.
Jika ingin bermalam, pesisir pantai bisa menjadi pilihan untuk mendirikan tenda. Selain embusan angin laut dan deburan ombak di malam hari, pengunjung juga bisa menikmati hamparan langit gelap yang dipenuhi gemerlap bintang. Atau, jika tidak membawa tenda, rumah-rumah penduduk bisa dijadikan tempat untuk bermalam. Suasana pedesaan akan lebih terasa karena bisa melihat dari dekat kegiatan warga Desa Sawarna.
Menyusuri pantai selatan Lebak bisa menjadi pilihan untuk berlibur. Tidak perlu khawatir akan kelelahan karena kemolekan alam yang disuguhkan di sepanjang pantai selatan ini sangat memesona dan menakjubkan.

Anyer Tetap Memesona

Oleh Anita Yossihara
(dimuat harian Kompas edisi 25 Mei 2007)

Semilir angin berembus lembut menerpa pohon nyiur di tepian Pantai Anyer, Rabu (23/5) siang. Suara gemerisik daun nyiur disertai desiran ombak yang mengalir silih berganti, bak simponi yang mengalun merdu, indah, dan memesona.

Sejauh mata memandang, terlihat riak-riak ombak putih bersih di antara hitam batu karang. Hamparan biru air laut memantulkan cahaya sinar matahari yang terik, siang itu. Di kejauhan terlihat pula pemandangan Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau, menjulang di tengah-tengah samudra berwarna biru cerah. Sesekali terlihat satu-dua perahu nelayan melintas di tengah lautan.

Pemandangan itu membuat mata enggan berpaling, dan badan enggan beranjak melewati suasana nyaman di tepian pantai. Banyak pesona yang ditawarkan pantai yang berada di pesisir barat Provinsi Banten tersebut. Bukan hanya pesona pantai, tetapi juga keindahan batu karang yang bisa dinikmati di sana.

Salah satunya Karang Bolong, yang berada di Desa Karang Bolong, Kecamatan Cinangka, Serang. Cukup dengan membayar tiket sekitar Rp 5.000, pengunjung bisa memandang gelombang dari balik batu karang.

Keunikan batu karang besar yang berlubang di bagian tengah juga menjadi pesona yang indah untuk dinikmati. Pemandangan akan lebih indah dengan berjalan menaiki puncak batu karang bolong. Turun dari puncakkarang bolong akan terlihat seonggok batu karang besar yang menyerupai kapal terdampar.

Tantangan lain bisa dirasakan jika turun langsung ke pantai berbatu karang. Tak hanya ombak yang dapat dinikmati, tetapi juga permainan mencari siput laut yang hidup di sela-sela karang hitam.

Pesona pantai berbatu karang juga bisa dinikmati di daerah lain di sepanjang Kecamatan Anyer hingga ujung Kecamatan Cinangka. Di antaranya, Pantai Karang Kitri, Karang Suraga, dan sebagainya.

Pemandangan indah juga bisa dinikmati di Pantai Mercusuar Anyer di daerah Cikoneng, masih di Kecamatan Anyer. Selain batu karang, di sana juga terdapat hamparan pasir putih. Nyaman untuk tempat berjemur, atau sekadar bermain pasir bersama keluarga, teman, ataupun kerabat lainnya.

Setelah lelah bermain, pengunjung bisa beristirahat di tepian pantai sambil menikmati minuman kelapa muda yang segar. Rata-rata satu buah kelapa muda dijual dengan harga Rp 3.000-Rp 3.500. Pondok-pondok makan yang dibuat seperti gubuk bambu juga bisa menjadi pilihan untuk melepas lelah. Berbagai makanan laut seperti ikan bakar, cumi bakar, kepiting, dan sebagainya bisa dipesan dan dinikmati sembari memandang deburan ombak di Selat Sunda itu.

Jika ingin berlama-lama menikmati pesona Pantai Anyer, di sana juga tersedia banyak penginapan dengan pilihan harga dan fasilitas. Dari penginapan biasa dengan harga puluhan ribu rupiah semalam hingga hotel berbintang dengan harga jutaan per malam bisa digunakan sebagai pilihan tempat melepas penat di hari libur.

Nol Kilometer

Anyer tak hanya menyajikan kemolekan pemandangan pantai, tetapi juga pesona sejarah. Nama Anyer sudah terkenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pasti banyak orang yang tahu jika awal tahun 1800-an Jenderal Willem Daendels membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan sepanjang pantai utara Pulau Jawa itu dikenal dengan nama Jalan Raya Pos atau Groote Post Weg.

Tak banyak orang yang tahu di mana pangkal jalan raya yang dibangun dengan cucuran keringat dan darah jutaan warga pribumi itu. Jika ingin tahu letak pangkal Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, datanglah ke sebuah pantai yang diberi nama Pantai Mercusuar Anyer di Desa Cikoneng.

Sekitar tiga meter dari bibir pantai didapati sebuah tapal yang terbuat dari beton bercat warna biru. Di atas tapal itu tertulis, "0 KM Anyer-Panarukan 1806 AKL". Jika dilihat dari tulisannya, tapal itu merupakan tanda pangkal Jalan Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels. Sekitar 10 meter arah timur tapal batas terlihat sebuah mercusuar bercat warna putih yang menjulang setinggi 52 meter.

Mercusuar ini dibangun pada tahun 1885, pada zaman kekuasaan Raja Willem III. Pada malam hari, lampu mercusuar tua ini masih digunakan untuk menyinari perairan Selat Sunda. Memberi tanda bagi kapal-kapal yang melintas agar tetap berlayar pada jarak 12 mil dari garis pantai, dan kapal tidak menabrak karang.

Saat ini benda cagar budaya itu dibuka untuk umum. Siapa pun bisa memasuki ruangan dan naik hingga ke puncak mercusuar. Pemandangan pantai bukan satu-satunya pesona yang ditawarkan kawasan wisata di sebelah barat Provinsi Banten. Pesona pegunungan di sisi timur Pantai Anyer juga bisa dijadikan sebagai tempat wisata alternatif.

Salah satunya, Rawa Dano yang bisa dinikmati dari atas pegunungan Mancak. Kawasan Cagar Alam Rawa Dano ini berupa hutan rawa, yang terlihat seperti bekas kepundan gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Suhu udara di pegunungan Rawa Dano lebih sejuk daripada suhu udara di pesisir pantai.

Tempat wisata ini berada di jalan yang menghubungkan Kota Serang dengan kawasan Anyer, dengan melintasi daerah Taktakan serta Mancak. Banyak pesona yang ditawarkan daerah di pesisir barat Provinsi Banten itu. Bukan hanya wisata pantai, tetapi juga peninggalan sejarah serta pesona alam pegunungan bisa dinikmati.

18 Februari 2008

Menikmati Sisa-sisa Eksotisme Pesisir Utara Banten

Oleh Anita Yossihara
(termuat di harian Kompas edisi 20 April 2007)
Sinar matahari di Pelabuhan Merak begitu terik hari Kamis (19/4) siang kemarin. Debu-debu beterbangan saat kendaraan-kendaraan besar melintasi pintu masuk Jalan Raya Merak Bojonegara. Tak ada yang terasa, kecuali panas, gerah, dan kumuh.
Sepanjang jalan yang terlihat hanyalah hamparan laut yang dipenuhi kapal-kapal tongkang. Tabung-tabung besar berisi zat kimia juga menjadi pemandangan di sebelah barat jalan. Sementara di sebelah timur terlihat bukit-bukit tandus yang sebagian telah gundul, tanpa tanaman.
Cuaca mulai terasa sedikit sejuk saat memasuki Desa Pulorida, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Merak. Pohon-pohon besar tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan, membuat teduh badan jalan yang sebenarnya sangat berdebu.
Dari kejauhan mulai terlihat hamparan pasir putih dan batu karang hitam. Beberapa rumah panggung yang terbuat dari kayu berdiri kokoh di pelataran berpasir putih. Di atas pintu pagar terlihat papan kecil bertuliskan "Pantai Pulorida".
Jika tidak ada papan petunjuk, mungkin tidak ada yang tahu jika daerah itu merupakan tempat wisata. Apalagi kemarin pintu masuk Pantai Pulorida terkunci rapat. "Kalau hari-hari biasa seperti ini, pantai memang tidak dibuka. Hanya hari Sabtu, Minggu, dan hari libur, pintu masuk itu dibuka," tutur Nasriani, seorang warga yang bermukim di seberang Pantai Wisata Pulorida.
Padahal, dari tepi Pantai Pulorida, pengunjung bisa menikmati pemandangan dan aktivitas di Selat Sunda. Selain perahu nelayan, pengunjung juga dapat menikmati kapal-kapal besar berikut kapal tongkang yang kebetulan berlabuh di dekat pantai.
Selain wisata pantai, Pulorida justru lebih terkenal sebagai tempat hiburan malam. Sebuah hotel yang dilengkapi dengan restoran, diskotek, dan sarana hiburan lainnya kerap menjadi tempat wisata orang yang kebetulan singgah di Pelabuhan Merak.
Tidak sedikit pula warga sekitar Pulorida, mulai dari Merak, Cilegon, hingga Serang, yang menghabiskan malam di hotel tersebut. Maklum saja, biaya masuk tempat hiburan di Pulorida relatif murah dan terjangkau. Untuk bisa masuk ke diskotek, seorang pengunjung cukup membayar Rp 20.000.
Pantai Kelapa Tujuh
Pulorida bukan satu-satunya tempat wisata yang bisa disinggahi di sepanjang jalan alternatif Merak-Bojonegara. Sekitar dua kilometer dari Pulorida terdapat sebuah pantai bernama Kelapa Tujuh. Namun, warga di sana lebih sering menyebut pantai Kelapa Pitu atau pantai kompleks. Menurut cerita turun-temurun, nama Kelapa Pitu diambil dari asal muasal pantai wisata itu. "Dulu, sekitar tahun 1970-an, Haji Sarmani si pemilik tanah hanya menanam tujuh pohon kelapa. Jadi, saat itu pohon kelapanya tidak sebanyak sekarang, hanya tujuh buah saja," tutur Sapri, warga Desa Suralaya, Kecamatan Pulomerak.
Adapun sebutan Pantai Kompleks terbentuk setelah PT Indonesia Power Suralaya membangun kompleks perumahan di sekitar pantai tersebut. Tidak seperti pantai-pantai pada umumnya, Pantai Kelapa Tujuh lebih teduh dan sejuk. Tepian pantai berpasir putih itu dipenuhi pepohonan rindang berusia tua.
Pengunjung bisa leluasa duduk di bawah pohon rindang, sambil menikmati pemandangan Selat Sunda. Dari pantai itu pula bisa terlihat jajaran cerobong asap milik PLTU Suralaya. Seperti Pantai Pulorida, Kelapa Tujuh selalu ramai dikunjungi warga pada akhir pekan dan hari libur lainnya.
"Di sini pantainya adem, enggak sumpek. Pedagangnya juga teratur, tempat jualannya rapi. Biasanya kalau di pantai selalu banyak pedagang asongan yang menawari barang. Jadi, kita susah buat santainya," kata Ita Rosita, seorang warga Gerem, Cilegon, yang mengaku sering datang ke Pantai Kelapa Tujuh.
Pantai Salira
Berjalan sepanjang tiga kilometer dari Pantai Kelapa Tujuh, kita sudah bisa menemukan lagi pantai wisata lain. Pantai wisata yang terletak di Desa Salira, Kecamatan Puloampel, Kabupaten Serang, itu dikenal dengan nama Salira Indah. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 4.000 untuk orang dewasa, dan Rp 3.000 untuk anak-anak, pemandangan pantai utara Banten sudah bisa dinikmati.
Hampir sama dengan Kelapa Tujuh, cuaca di Pantai Salira juga terasa sejuk. Sinar matahari tidak bisa langsung menyengat kulit karena tepian pantai dipenuhi pohon nyiur dan pepohonan rindang lainnya. Selain untuk berwisata, pantai yang juga berpasir putih ini lebih sering digunakan sebagai tempat kemping. Biasanya, para pengunjung bermalam di saung (gubuk) terbuka yang berada di tepi pantai. "Kebanyakan anak muda memilih kemping di sini. Cukup menyewa tenda yang sudah disediakan. Kalau musim libur sekolah, biasanya penuh terus," tutur Euis, salah seorang warga yang turut mengelola tempat wisata itu.
Dari tempat ini, pengunjung juga bisa membawa pulang oleh-oleh berbagai jenis bonsai. Salah satu yang menarik adalah bonsai pohon kelapa gading yang dijual seharga Rp 10.000 hingga jutaan rupiah. Bonsai pohon lain, seperti beringin dan kamboja jepang, juga dapat dibeli dari harga yang termurah Rp 10.000 hingga yang termahal, bisa di atas Rp 6 juta.
Dahulu, keindahan pantai-pantai di pesisir utara Banten ini memang cukup tersohor. Namun, kini keindahan itu tersisih dengan banyaknya industri yang dibangun di sepanjang pesisir pantai Merak-Bojonegara.
Meski pemandangan pantai tidak lagi seindah dulu, sisa-sisa eksotisme pantai utara masih tetap dapat dinikmati. Setidaknya, lokasi wisata ini bisa dijadikan tujuan alternatif bagi warga Jakarta dan sekitarnya jika jalur lalu lintas Bogor- Pucak padat. Tidak ada salahnya kawasan ini juga dikunjungi.

Pedagang Gorengan Memilih Bunuh Diri

Oleh Anita Yossihara
(termuat di Kompas edisi 16 Januari 2008, halaman 1)
Beberapa ibu rumah tangga sibuk menata kue di rumah Nuriah (40) di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (15/1) siang. Ibu-ibu itu menyiapkan makanan untuk acara doa bersama berkait meninggalnya Slamet (45), suami Nuriah. Sehari sebelumnya, suami Nuriah nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya. Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun. Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng. Empat hari sebelum meninggal, Slamet pernah mengeluh kepada beberapa wartawan yang datang untuk menanyakan dampak kelangkaan minyak tanah dan kenaikan harga. Ia mengatakan terpaksa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per liter. Setiap pagi sebelum berjualan, ia mengambil 2-3 liter minyak tanah di warung milik Enjen. Slamet baru membayar minyak tanah pada malam hari, sepulang berjualan. Namun, menurut Enjen, beberapa waktu terakhir Slamet memang mulai kesulitan membayar minyak tanah. Kondisi itu membuat Slamet merasa berat untuk melanjutkan usaha berdagang gorengan. Keluhan serupa juga pernah disampaikan Slamet kepada Ustadz Nurdin, tokoh masyarakat setempat. Nurdin menceritakan, sebelum Slamet bunuh diri, ia pernah mengeluh selalu merugi. "Modal yang dikeluarkan Rp 50.000 sehari, tetapi pendapatannya cuma Rp 35.000," katanya. Bisa jadi beban pedagang gorengan itu bertambah berat karena semua harga bahan baku gorengan melonjak. Saat ini harga minyak goreng di Pasar Badak mencapai Rp 11.500 per kilogram, harga tepung terigu menjadi Rp 7.000 per kilogram, dan harga tepung tapioka Rp 3.800 per kilogram. Harga bahan baku gorengan lain, seperti tahu dan tempe, juga naik, bahkan sulit didapat kan akibat harga kacang kedelai melonjak di pasaran. Di Pasar Badak, tempat Slamet biasa berbelanja bahan baku, tahu berukuran sedang yang sebelumnya dijual Rp 500 sekarang menjadi Rp 750 per potong. Begitu pula harga tempe berbagai ukuran, naik rata-rata Rp 500 dari harga sebelumnya. Dugaan bahwa Slamet bunuh diri karena tekanan ekonomi diperkuat hasil visum di Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang. "Tidak ditemukan adanya bekas kekerasan fisik sehingga kasus itu murni merupakan bunuh diri. Besar kemungkinan penyebabnya adalah tekanan ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Pandeglang Ajun Komisaris Besar Mamat Surahmat. Slamet bukan satu-satunya warga masyarakat yang menjadikan gorengan sebagai tumpuan hidup sehari-hari. Ada ribuan warga yang berharap bisa melanjutkan hidup dengan berdagang gorengan. Namun, jika harga bahan baku terus melonjak, apakah tidak mungkin ada warga lain yang menjadi senekat Slamet: memilih bunuh diri karena putus asa melihat harga bahan pangan yang semakin tak terjangkau. Warteg juga terancam Di Jakarta, kemarin, sejumlah warung nasi, terutama warung tegal (warteg), diwarnai kekesalan pelanggan yang kehilangan lauk kesayangan mereka, orek (irisan kecil tempe goreng berbumbu yang dipotong memanjang, bercampur sedikit irisan cabai merah). Di lingkungan penggila warteg, orek memang hampir identik dengan warteg. Di samping murah meriah, cuma Rp 1.000-Rp 1.500, sebagai pendamping nasi, orek memang enak. "Saya sudah 35 tahun jualan nasi, tapi baru sekarang saya tak bisa menyajikan orek karena tempe menghilang dari pasar tiga hari ini," kata Mu'min, pemilik Warung Nasi Ojo Lali, yang berlokasi di Jalan Melati, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Ketika kerusuhan Mei 1998, menurut dia, tempe dijatah, masing-masing cuma dapat lima bantal tempe. "Zaman perang, zaman Bung Karno, zaman geger G30S, zaman Pak Harto, enggak pernah tempe sampai hilang seperti sekarang," katanya. Kebetulan warungnya mengandalkan tiga menu, orek, soto betawi, dan bakwan udang. Setiap hari warungnya yang buka pada pukul 10.00-20.00 menghabiskan antara lain tempe 15 bantal, tahu besar 15 potong, tahu kuning 30 potong, beras setengah kuintal, dan minyak tanah 30 liter. Karena menu orek absen, jumlah pelanggannya tiga hari belakangan berkurang, dari sekitar 250 orang setiap harinya menjadi 100 orang. "Menu lain boleh mewah, tapi enggak laku kalau enggak ada orek. Ambil orek dulu, baru menu tambahan lainnya," ucap Mu'min. "Padahal sebenarnya, meski dengan harga tinggi, kalau tempenya ada, pasti saya beli karena pelanggan saya tidak keberatan harga orek naik," katanya menambahkan. Mu'min berniat menutup warungnya kalau produk tempe dan tahu menghilang lebih dari seminggu, atau jika harga minyak tanah mencapai Rp 7.000 per liter. "Semua pemilik warteg pasti punya niat yang sama dengan saya," tuturnya.(WIN)

15 Februari 2008

Pak Ji, Semangat Dalam Kesendirian

(termuat di Kompas Jawa Timur Edisi 9 September 2004 halaman A)
PUKUL 16.00 di kompleks perkantoran Pemerintah Kota Surabaya. Pak Ji menata botol-botol kosong dan memasukkannya ke kotak yang sering disebut krat. Ia lalu menjinjing kotak pendingin ke lorong sempit selebar setengah meter. Kotak pendingin tersebut berisi teh botol dan berbagai jenis minuman botol lain. Tidak lupa botol-botol kosong yang telah tertata pun dia masukkan ke lorong sempit di antara kantor Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan kantor Dinas Bina Marga dan Utilitas Kota Surabaya. Setelah mengunci pintu kecil dan kemudian memakai jaket lusuhnya, ia bersiap pulang ke rumah kontrakannya di Jalan Ngaglik Gang Kuburan.
"Sudah tutup, mau pulang," tuturnya saat duduk bersama Pak Salamun, petugas kebersihan di depan Kantor Dinas Infokom, Jumat (3/9). *** SUPARJI nama lengkapnya. Namun, pedagang minuman botol itu lebih dikenal dengan nama Pak Ji. Usianya telah mencapai 82 tahun. Tubuhnya kecil dan tidak pernah lepas dari kacamata plus berbingkai fiberglass berwarna cokelat.
Ia pernah menikah dengan Dinem, tetangganya di Nganjuk pada tahun 1951. Karena tidak memiliki keturunan, Pak Ji memutuskan meninggalkan sang istri sekitar tahun 1980.
"Sudah tua, jadi ya saya tinggalkan. Lebih enak sendirian di sini (SurabayaùRed)," ujar pria yang sempat bergabung dengan BY 35 (Batalyon 35 pimpinan Bambang Yuwono) pada tahun 1948.
Di usianya yang renta, tanpa sanak dan saudara, dia tetap bersemangat menjual minuman dan kadang nasi bungkus. "Buat makan dan sedikit disimpan untuk beli obat," katanya saat berbincang-bincang bersama Mulyadi, petugas parkir dari dinas perhubungan.
Setiap pagi, sekitar pukul 05.00, Pak Ji meninggalkan rumah kontrakannya. Dia berjalan kaki menuju kompleks perkatoran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. "Kalau masih pagi sekali dan masih ngantuk ya tidur dulu pakai dingklik ini," tuturnya sambil menunjuk bangku panjang berukuran 30 sentimeter (cm) x 150 cm.
Lalu, sepanjang hari Pak Ji melayani para pembeli. Bukan hanya pegawai pemkot, ia juga melayani para investor atau rekanan lelang proyek Pemkot Surabaya dan wartawan yang singgah di kantor Dinas Infokom Kota Surabaya. "Sekarang, paling-paling habis 1,5 sampai 2 krat. Sehari dapat uang sekitar Rp 10.000," tuturnya.
Menjual minuman dan nasi bungkus telah ia jalani sejak tahun 1981. "Kantor ini (Dinas InfokomùRed) sudah ganti empat kali. Awalnya kantor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), lalu dinas pertamanan, ganti lagi jadi PU (pekerjaan umum), dan sekarang jadi Infokom," paparnya.
Sebelumnya Pak Ji mendapatkan satu ruang khusus di kantor PBB. Saat itu, selain berbagai minuman botol, ia juga menyediakan penganan kecil dan nasi bungkus. "Dulu itu habisnya sampai lima krat sehari. Nasi bungkusnya sampai 80-100 bungkus. Kalau sekarang ndak payu, paling-paling sehari habis 10-20 bungkus saja," tuturnya.
Merasa dagangannya tidak laku lagi, Pak Ji memindahkan tempat dagangannya ke tempat parkir. Seperti pedagang kaki lima lain, ia mengaku pernah dua kali "ditertibkan" petugas Polisi Pamong Praja. "Karena itu, akhirnya saya diberi tempat di lorong kecil itu. Mungkin kasihan sama saya karena sudah lama ikut berjualan di sini," katanya.
Pak Ji pun menggunakan lorong kecil tersebut untuk menyimpan kotak pendingin berikut minuman botol dan botol-botol kosong. Ia tetap memilih salah satu sudut tempat parkir untuk berjualan. *** SELAMA 23 tahun Pak Ji menghabiskan hari-harinya bersama botol-botol minuman di kompleks perkantoran Pemkot Surabaya. Malam hari ia baru beristirahat di rumah seluas 2,5 meter (m) x 5 m yang disewanya dengan harga Rp 600.000 per tahun.
"Hari Sabtu dan Minggu libur. Biasanya ya di rumah saja," katanya.
Ia memang pernah memiliki tiga rumah, dan saat ini telah ia jual. "Dulu punya rumah dua di Donokerto, satu di Ngaglik. Tetapi sudah dijual semuanya karena butuh uang. Kalau sekarang kontrak rumah," ujarnya.
Tidak ada sanak dan saudara menemani, hanya tetangga yang menemaninya dan kadang-kadang menjenguk terutama saat ia sakit. "Kalau sakit, baru tetangga-tetangga itu datang. Keponakan saya baru datang kalau ditelepon," tuturnya dengan mata menerawang.
Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Seperti biasa, Pak Ji diam dengan tatapan mata kosong, sembari menunggu pembeli datang.
Dengan penghasilan rata-rata Rp 10.000 per hari, Pak Ji mencoba memenuhi seluruh kebutuhannya. Dari makan, uang sewa rumah, dan kebutuhan lain, termasuk berobat ke dokter. "Sekarang ini kan paru-paru saya sakit. Setiap bulan harus ke dokter, habisnya sampai Rp 150.000," ujarnya.
Pak Ji akan periksa ke dokter kalau uangnya telah terkumpul. Kalau tidak, ia terpaksa menahan sakit di paru-parunya. "Tetapi, kadang-kadang ada yang kasih uang untuk berobat. Itu ibu-ibu rekanan pemkot yang datang ke sini," katanya.
Meskipun sakit-sakitan, ia tidak mau jika harus kembali ke kampung halamannya di Nganjuk. Dia juga tidak mau kembali kepada Dinem, istrinya yang telah lama ditinggalkan. "Pak Ji senang di Surabaya, biar tidak ada saudara," tuturnya. Alasannya, ia biasa sendiri mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat ini ia hanya mempunyai semangat untuk bertahan hidup dan bertahan dari serangan sakit paru-parunya.Entah kapan Pak Ji akan memutuskan untuk berhenti. Berhenti berkutat dengan botol-botol minuman dan nasi bungkus. Hal yang jelas, saat ini setiap hari Pak Ji masih saja mengumpulkan keping-keping rupiah, sekadar untuk makan dan mengobati sakit paru-parunya. (ANITA YOSSIHARA)

tentang hidup

"bahwa hidup adalah untuk memberi..."
perjalanan panjang kehidupan memberi berjuta pengalaman;
suka, duka, kecewa, frustasi, karena sebuah pengharapan yang terlalu.
satu-satu prestasi terengkuh...
satu-satu muka cemberut, mencibir...
satu-satu bertepuk tangan, menjabat tangan...
kecewa kemudian, menghadirkan duka dan frustasi...
karena asa yang terlalu.
hingga datang suatu masa yang menyadarkan akan arti kehidupan...
"bahwa hidup adalah untuk memberi",
memberi tanpa berharap balasan...
memberi dan hanya memberi...
itulah cara meningkahi hidup yang tak selalu bersahabat dengan pengharapan... tetaplah menari, berlari, berputar, dan bernyanyi...
di atas kanvas kehidupan...

13 Februari 2008